Sabtu, 22 Februari 2014

Pendidikan Matematika Realistik dan Pendidikan Menggunakan Model-Model (II)

Model Bar Untuk Belajar Persentase Sebagai Salah Satu Contoh

Di bagian yang tersisa dari artikel ini penggunaan didaktik model dalam RME digambarkan dengan menggunakan model bar dalam belajar - mengajar persentase yang dirancang untuk matematika dalam kurikulum konteks . Sederhananya,  model bar ini mengacu pada bidang di mana skala yang berbeda digambarkan pada saat yang sama , sebagai akibat dari jumlah atau kuantitas. Pokok pikiran model bar ini menyentuh esensi dari bilangan rasional seperti persentase .
Bagian utama dari jalan persentase meluas lebih dari tiga unit pengajaran kurikulum yaitu :
- Persentase (Van den Heuvel - panhuizen et all, 1997) , dimaksudkan untuk kelas 5 dan dimaksudkan untuk menjadi pengenalan awal mengenai persentase;
- Perkalian pecahan ( . Keijzer et al, 1998 b) dimaksudkan untuk kelas 6 dan mencakup aspek lebih luas dari bilangan rasional serta berisi materi tentang persentase, pecahan, desimal dan perbanding ;
- Penjumlahan dan pengurangan (Keijer et al , 1998 ), dimaksudkan untuk kelas 6 dan berfokus pada persentase , pecahan dan desimal
Karena fokus saya dalam artikel ini adalah untuk memberikan pandangan hubungan dalam jalan , saya akan membatasi diri untuk pembelajaran persentase. Kesimpulan bahwa , dalam matematika konteks pengajaran persentase dianggap untai mengajar terpisah yang tidak ditarik , namun. sebaliknya , persentase belajar tertanam dalam seluruh jumlah bidang bilangan rasional dan sangat terjalin dengan belajar pecahan , desimal , dan perbandingan dengan model bar yang menghubungkan konsep bilangan rasional ( lihat Middketon , Van den Heuvel - Pnhuize , dan Shew , 1998) . Namun , model bar bukanlah model hanya mendukung untuk bidang ini . selain bentuk bar, yang kemudian menjadi garis bilangan ganda , meja perbandingan dan diagram lingkaran juga memainkan peran penting dalam matematika dalam konteks jalan pada prosentase (lihat Wijers dan Van Galen , 1995; Middleton dan Van den Heuvel - Panhuizen , 1995) . demi kejelasan , artikel ini akan menghindari menggambarkan kompleksitas yang khas dalam proses belajar atau akan perhatian diberikan kepada bagaimana jalan persentase dikembangkan dan bagaimana model bar menemukan tempat di dalam jalan. Mengenai unit persen khususnya , informasi tentang proses pola ini dapat ditemukan di  Van den Heuvel - Panhuizen dan Streefland ( 1993) . Penilaian yang dikembangkan untuk bagian ini disebutkan dalam Van den Heuvel - Panhuizen ( 1994,1996 )

Tujuan artikel ini adalah untuk menjelaskan bagaimana dalam serangkaian unit pengajaran seperti yang dirancang untuk matematika dalam kurikulum konteks, munculnya model bar dan perkembangan mendukung belajar siswa. deskripsi didasarkan pada foto yng diambil dari versi naskah unit-unit ini, termasuk beberapa karya siswa yang menunjukkan untuk apa gelar proses dimaksudkan pembentukan model ini sejalan dengan siswa cara kerja dan proses berpikir mereka. yang terakhir ini penting karena memungkinkan mereka untuk menemukan kembali model sendiri, atau setidaknya, untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembentukan model.

(Educational Studies in Mathematics 54: 17,2003. Kluwer Academic Publishers. Printed in the Netherlands.)

Pendidikan Matematika Realistik dan Pendidikan Menggunakan Model-Model

Bagaimana menemukan model-model yang sesuai dan model yang menimbulkan aktivitas ?

Meskipun proses ide menyiratkan bahwa model diciptakan oleh siswa sendiri tetapi siswa harus disediakan dengan lingkungan belajar semacam masalah, kegiatan, dan konteks, ditempatkan dalam skenario atau jalan bersama dengan stimulasi dan penekanan peran guru-untuk membuat hal ini terjadi. Seperti yang dikatakan sebelumnya, dalam RME penemuan kembali diambil untuk dibimbing menjadi penemuan kembali. Namun,aspek terpenting dari proses ini adalah bahwa siswa harus memiliki perasaan memimpin di dalamnya. Munculnya model dan perkembangan lebih lanjut mereka harus terjadi dengan cara alami.
            Persyaratan sebelumnya menempatkan tanggung jawab besar pada pengembangan materi pendidikan . Pengembang pendidikan harus mencari situasi masalah yang jalannya cocok untuk membangun model dan sesuai dalam skenario atau jalan yang memunculkan perkembangan  lebih lanjut dari model , untuk membiarkannya tumbuh menjadi sebuah model didaktik yang membuka jalan untuk tingkat yang lebih tinggi dari pemahaman bagi para siswa. Harus jelas bahwa ini menempatkan tuntutan tertentu pada suatu situasi masalah siswa. Persyaratan utama adalah bahwa situasi masalah dapat dengan mudah diselesaikan. Tuntutan lain adalah bahwa , dari sudut pandang siswa harus ada kebutuhan untuk membangun . Aspek ini merupakan contoh , perencanaan dan pelaksanaan solusi langkah , menghasilkan penjelasan . kriteria ini sudah memberikan indikasi yang baik dari apa yang diperlukan untuk memunculkan model , yang paling penting adalah bahwa situasi masalah dan kegiatan membawa siswa untuk mengidentifikasi struktur dan didaktik analisis konsep matematika sebagaimana yang disebut oleh Freudenthal ( 1978,1983 ). Analisis difokuskan pada bagaimana matematika pengetahuan dan konsep dapat menampakkan diri kepada siswa dan bagaimana mereka dapat dibentuk . Bagian dari analisis ini dilakukan dengan cara mengajarkan percobaan dan pertimbangan antar universitas - termasuk diskusi dengan guru - di mana kedua pengetahuan tentang siswa dan ide-ide tentang konsep-konsep matematika yang diinginkan berfungsi sebagai potret sebelum memandu. Bagian yang lebih penting dari analisis, bagaimanapun dilakukan saat bekerja dengan siswa dan menganalisis siswa bekerja. Dengan cara ini dapat disusun suatu model dan karenanya apa yang telah menjadi situasi masalah dapat ditemukan, sehingga situasi-solusi spesifik dapat diperoleh.

(Educational Studies in Mathematics 54: 16, 2003. Kluwer Academic Publishers. Printed in the Netherlands.)

Sabtu, 15 Februari 2014

PERAN KONTEKS

"Membangun Kendala"

Strategi informal awal peserta didik bukanlah titik akhir dari instruksi awal  mereka . Sebagai guru , kita harus mendukung pengembangan upaya-upaya awal dalam strategi dan model matematika agar lebih formal dan koheren; kita harus mendorong " mathematizing progresif " ( Gravemeijer 1999 ). Meskipun berdiskusi dan tanya jawab dengan guru dapat mengarahkan siswa untuk merestrukturisasi ide-ide awal mereka, namun membangun kendala yang berpotensi menyadari siswa dan saran dalam konteks yang sering merupakan cara yang lebih ampuh untuk mencapai tujuan itu .

Madeline menentukan lima kalung manik-manik dari setiap warna dan juga  memperkenalkan  nikel (uang yang bernilai lima sen) dan picis (uang yang bernilai sepuluh sen) karena lima benda itu (kalung manik-manik) sering digunakan, atau sering dilihat , dan karena lima dan sepuluh adalah sistem nomer penting sebagai petanda. Dia berharap bahwa pengelompokan manik-manik dengan warna akan mendukung pengembangan penghitungan loncat, atau mungkin menghitung dari lima, daripada menghitung satu-satu. Anak-anak bisa menghitung satu-satu jika mereka perlu. Tapi konteks pengelompokan lebih memiliki potensi untuk memperluas pikiran siswa . Koin akan menambah kebinggungan. Sementara manik-manik masih dapat dihitung oleh orang-orang jika diperlukan , bahkan berpikir warna menunjukkan pengelompokan sedangkan dengan  koin tidak bisa. Nilai "Lima" nikel (mata uang yang nilainya lima sen) tidak dinyatakan secara jelas. Tentunya anak-anak masih bisa menghitung dengan suara keras (nyaring) , atau menghitung dengan jari-jari mereka sendiri, tetapi koin lebih sering memperkenalkan " ketidakseimbangan " mengenai strategi penghitungan satu-satu. Bentuk picis dibawa keluar dari tempat Roland untuk melihat polanya. Madiline menanamkan didaktik dalam konteks , pembentukan dengan cara pedagogis canggih untuk mendorong anak-anak melampaui strategi awal mereka

Sabtu, 08 Februari 2014

Dengan PMRI Benarkah Kelasnya Menjadi Ramai ?




(Ruchiatus Sun Aeni, guru MIN Yogyakarta II)

Setelah PMRI diterapkan, banyak guru mengeluh kelasnya ramai, mengganggu kelas yang lain. Apalagi yang jumlah muridnya lebih dari 30 anak. Hal ini kelihatannya membuat guru tidak enak dengan teman yang lain.
Sebelum menggunakan pendekatan PMRI memang kita akui semua kelas tenamg. Kalau ada suara yang terdengar dari luar kelas, hanyalah suara guru atau canda dikelas yang berlangsung tidak terlalu lama. Suasana tenang ini berlangsung amat lama sehingga menjadi tradisi. Banyak guru menyakini kelas yang tenang menunjukan gurunya pandai mengelolah kelas. Apakah ini benar?
Dalam pembelajaran matematika, siswa yang menemukan sendiri cara menyelesaikan masalah akan lebih bermakna dibandingkan siswa yang hanya mendapatkan dari guru memang tidak semua pokok bahasan/sub pokok bahasan yang dapat ditemukan oleh siswa sendiri. prinsip PMRI “guru bertindak sebagai fasilitator”, bisa diterapankan disini. Guru bukan lagi sebagai pusat informasi. Jika guru tidak lagi sebagai center , maka pastilah terjadi proses yang lebih panjang bagi siswa yang aktif menemukan sendiri. Pada saat inilah siswa tidak lagi diam dimejanya sendiri, tetapi butuh orang lain untuk menyelesaikn masalah yang diberikan oleh guru atau butuh alat untuk menyelesaikannya.  
Untuk kelas I dan II, awalny memang terlihat ramai. Setelah berlangsung beberapa bulan anak terkondisi terbiasa bekerjasama dengan orang lain tanpa menimbulkan suara gaduh. Hal ini dialami oleh guru kelas I dan II MIN Yogyakarta II. Memang tidak mudah menerapkan PMRI dikelas , yang mereka lakukan antara lain :
·         Membuat kesepakatan dengan anak tentang sangsi-sangsi jika melanggar aturan
·         Tempat duduk dibuat berkelompok empat-empat
·         Guru terbiasa berbicara wajar dikelas
·         Pada saat anak mengemukakan pendapatnya, guru mendengarkan dengan seksama
·         Guru tidak sering mengulangi ucapannya bahkan hanya satu kali saja
·         Anak dibiasakan untuk menghargai orang yang berbicara.
Hal tersebut dilakukan terus menerus sehingga terbentu pola situasi ynag kondusif.
Semua pengalaman yang dialami oleh guru-guru MIN Yogyakarta II selama menerapkan PMRI mungkin dapat diterapkan oleh guru-guru yang akan menerapkan PMRI disekolahnya.

Sumber : Buletin PMRI edisi VI– Februari 2005 hal. 6

PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN PMRI MEMANG BEDA



(M.I Sri Rahayu Guru Kelas III SD Kanisius Demangan Baru, Yogja)

Pembelajaran matematika, sebelum menggunakan pendekatan PMRI, diberikan dengan menjelaskan langkah-langkah dalam menghitung. Guru menyajikan materi dengan memberikan contoh-contoh bagaimana mengerjakan suatu soal dengan jelas dan rinci. Kemudian, siswa diminta mengerjakan soal-soal latihan yang sudah tersaji dengan jelas dan jawabannya pun sudah pasti.
Dalam pembelajaran menggunakan pendekatan PMRI, ada 5 tahap yang perlu dilalui oleh siswa yakni Penyelesaian masalah, Penalaran, Komunikasi, Kepercayaan diri, dan Representasi.
Pada tahap penyelesaian masalah, siswa diajak mengerjakan soal-soal dengan menggunakan langkah-langkah sendiri. Siswa dapat menggunakan cara/metode yang ditemukan sendiri, yang bahkan sangat berbeda dengan car/metode yang dipakai oleh buku/guru. Pada tahap penalaran siswa harus dapat mempertanggung jawabkan cara/metode yang dipakai dalam dalam mengerjakan setiap soal. Pada tahap komunikasi, siswa diharapkan dapat dapat mengkomunikasikan jawaban yang dipilih teman-temannya dan menyanggah jawaban teman yang tidak sesuai dengan pendapat sendiri. Pada tahap kepercayaan diri, siswa diharapkan mampu melatih kepercayaan diri dengan cara mau menyampaikan jawaban yang diperoleh kepada teman-temannya dengan berani maju kedepan kelas dan jika jawaban yang disampaikan berbeda dengan jawaban teman siswa diharapkan dapat bertanggungjawab. Tahap representasi, siswa yang memperoleh kebebasan untuk memilih represntasi yang diinginkan (benda konkrit, gambar atau lambang-lambang matematika) untuk menyajikan/ menyelesaikan masalah yang dihadapi.Selain itu banyak juga orang tua yang memnyaampaikan tanggapan dan pandangannya kepada guru setelah pelajaran matematika dilaksanakan dengan pendekatan PMRI dintaranya yaitu pelajaran matematika dengan pendekatan PMRI
·         Sangat komprehensif. Artinya penyajian materi pelajaran selalu dihubungkan dengan materi lain.
·         Bersifat integral. Artinya pelajaran matematika dapat dihubungkan dengan langsung dengan pelajaran lain.
·         Menuntut logika dan penalaran yang sah. Artinya siswa yang berpikir dengan tertata dalam matematika, pada pelajaran lain pun proses penalarannya juga bagus.
·         Menggunakan berpikir tinggat tinggi. Artinya anak yang dapat mengikuti pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI daya tangkapnya tinggi.
Maka pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan PMRI membawa pengaruh yang besar dalam pengembangan pemahaman matematika dalam diri anak .

Sumber : Buletin PMRI edisi VI – Februari 2005 hal. 5

MEMBUMIKAN MATEMATIKA MERINGKAS KALIMAT



(St. Kartono orang tua murid SD Kanesisus Demangan, Yogja)
                                                                          
“Santi ingin mengadakan pesta. Untuk itu dia membeli apel.
Setiap 1 kg terdapat 6 apel. Bila Santi ingin mengundang 33 orang,
 berapa berat yang harus dibeli Santi?”
Soal tersebut tersaji dalam buku siswa Matematika Kelas III SD (PMRI-P2MPT, 2004). Dalam hal ini sebagian orang tua terlibat bahkan secara emosional pada tahap pengerjaan soal-soal semacam diatas yang menjadi PR buah hati mereka. Pelajaran Matematika realistik untuk sementara disamakan dengan soal-soal yang berbentuk cerita. Cerita tersebut dikemas dalam konteks kehidupan sehari-hari yang memuat angka-angka atau hitungan yang dimaksudkan agar siswa dapat menemukan matematika dalam pengalaman keseharian.
Seperti yang dialami putri bapak  St. Kartono yang begitu suntuk jika mengerjakan PR tersebut entah karena kewajiban atau matematika realistik yang menarik. Yang setiap kali ditanyakan adalah rumusan kalimat cerita, bukan hitung-hitungan. Ini artinya, persoalan pertama adalah memahami isi cerita. Berkaitan dengan persoalan tersebut, sejumlah gagasan yang disampaikan oleh bapak St. Kartono disini yakni pentingnya hal-hal kebahasaan bagi anak-anak usia sekolah dasar dalam mendukung tujuan baik matematika realistik.
Pertama, anak-anak kita belajar dari hal-hal yang konkret menuju abstrak. Pilihan kata semestinya memperhitungkan proses berpikir sesuai dengan tingkatannya.
Kedua, anak-anak kita belajar dari kalimat tunggal/ pendek menuju majemuk/ panjang. Agar mempermudah siswa dalam memahami suatu soal maka sebaiknya merumuskan soal dengan kalimat-kalimat tunggal tunggal, setiap kalimat hanya memuat satu subjek, predikat dan objek.
Ketiga, pilihan tokoh yang memungkinkan kesadaran gender. Inilah peluang berharga membangun kesadaran gender sejak dini lewat pelajaran matematika realistik.
Pembelajaran matematika realistik patut terus dikembang. Untuk itu dukungan dari siapapun terutama bahasawan dengan tujuan dan niat baiknya sungguh-sungguh bermanfaat bagi anak-anak bangsa ini.

Sumber : Buletin PMRI edisi VI – Februari 2005 hal. 4