(Dikembangkan di Amerika Serikat)
Untuk
menantang pemikiran siswa, Scott Frye dan Signe Kastberg mengadaptasi sebuah
ratio perbandingan masalah dari Lamon (1994) yaitu dengan mencontohkan atlit dan dokter yang akan dibagi
pizza dimana setiap 7 atlit mendapatkan
3 pizza sedangkan 3 dokter mendapatkan satu pizza. Dari permasalahan ini timbul
suatu pertanyaan yaitu siapa yang akan mendapatkan pizza terbanyak, atlit atau
dokter?
Beberapa
pendekatan dilakukan oleh siswa untuk menjawab pertanyaan tersebut ada siswa yang
menyelesaikannya dengan membuat tabel
dan ada juga perbandingan yang kemudian dikonversikan kedalam bentuk desimal .
Tabel
Atlit
|
Pizza
|
7
|
3
|
14
|
6
|
21
|
9
|
|
|
|
|
Dokter
|
Pizza
|
3
|
1
|
6
|
2
|
9
|
3
|
12
|
4
|
18
|
5
|
21
|
6
|
Dalam
penyelesaian menggunakan pendekatan tabel ini. Ada siswa yang menemukan jumlah pizza
yang sama untuk atlit dan dokter yaitu 3 pizza untuk 7 atlit dan 3 pizza untuk 9 dokter. Ada juga
siswa yang menemukan jumlah orang yang sama (baca : atlit dan dokter) untuk mendapatkan
pizza yakni 21 atlit untuk 9 pizza dan 21 dokter untuk 6 pizza. Sedangkan pada
pendekatan perbandingan yang dikonversikan. Siswa mencoba untuk menkonversi
rasio tiga pizza untuk tujuh atlet yaitu
3p/7a dan satu pizza untuk tiga dokter
yaitu 1p/3d dan kemudian untuk pizza diubah kedalam bentuk desimal untuk
masing-masing setiap satu orang atlit dan dokter. Sehingga diperoleh 0,43 p/1a
dan 0.33 p/1d. (keterangan : p = pizza, a= atlit, d= dokter). Kemudian setelah
mereka menemukan caranya masing-masing dalam menjawab pertanyaan tersebut maka mereka
mempresentasikannya
Presentasi Jessica di kelas Frye menggunakan
pendekatan perbandingan yang kemudian dikonversikan mengilustrasikankan
bagaimana norma ketekunan dalam
konteks matematika. Karena dia menekankan bahwa apa yang ia didapatkan, itu
merupakan hal yang penting dari pencariannya. Ketika ia mengubah jawaban bentuk
pecahan ke dalam bentuk desimal ia bingung
menjelaskan hasil yang ia dapatkan. Sehingga ia harus meninjau setiap unit dalam
perhitungan untuk membuat hasil sebagai perbandingan.
Pada persentasi dengan menggunakan pendekatan tabel,
Ashley menjelaskan menggunakan jumlah pizza yang sama untuk atlit dan dokter atlit
yang memperoleh pizza yang lebih banyak. Sedangkan Stevie menjelaskan
menggunakan jumlah orang yang sama (baca : atlit dan dokter) untuk mendapatkan
pizza. Pada poin ini, Stevie menantang
Ashley, bahwa “kamu akan menemukan sebuah angka yang sama juga dari orang (baca
: atlit dan dokter) dalam tabel kamu jika kamu terus menjumlahkan ”. Ashley
merespon tantangan stevie dengan terus menjumlahkannya, ternyata benar yang
dikatakan Stevie bahwa jika terus
dijumlahkan akan mendapatkan jumlah orang yang sama yaitu 21
atlit untuk 9 pizza dan 21 dokter untuk 6 pizza. Dalam masalah pizza dan tantangannya stevi memperoleh poin bahwa tujuan
dari pembelajaran tidak hanya belajar selama presentasi saja dan teman-teman
sekelas. Tetapi penting juga untuk memperkenalkan pembelajaran dengan cara
penyelesaian yang berbeda-beda.
Stevie
mendeskripsikan pembelajaran yang dia miliki dan mendorong teman-teman sekelas
untuk memberikan tantangan dan
pertanyaan. Dari beberapa pendekatan yang dilakukan siswa tersebut pada
kelas Frye tingkah laku tetap melakukan (tekun), menantang dan
bertanya diharapkan dalam jalannya diskusi. Dalam kelas matematika,
bagaimanapun, norma-norma ini menjadi sebuah dimensi baru sebagai “norma
matematika sosial” (Yackel dan Cobb, 1966), atau mengharapkan cara dalam
melibatkan diskusi matematika. Fakta ini pada gilirannya berkontribusi pada
“kecakapan matematika” siswa (Kilpatrick, Swafford, dan Findell 2001). Norma-norma sosial di kelas berupa "penjelasan,
pembenaran, dan argumen" (Yackel dan Cobb 1996, halaman 460) sedangkan
norma-norma matematika-sosial melibatkan pemeriksaan matematika dalam berbagai
cara mencari solusi. Ketekunan adalah salah satu contoh dari norma sosial.
Sumber : Teaching Children Mathematics. August 2013. Vol
20, No. 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar