Sabtu, 15 Maret 2014

PENGEMBANGAN NORMA-NORMA MATEMATIKA KELAS DELAPAN DI JEPANG


Yasuhiro Sekiguchi
(Universitas Yamaguchi, Jepang)

Norma yang diterapkan dikelas khususnya di jepang meliputi
1.      Norma efisiensi
Guru memberikan suatu persoalan matematika yang kemudian dikerjakan oleh siswa-siwanya. Pada kesempatan ini seorang guru di jepang tersebut meminta siswa nya bernama Kori untuk menyelesaikan di papan tulis , guru tersebut sengaja memilih Kori karena ia telah diamati pada pelajaran sebelumnya telah memecahkan masalah yang berbeda dari siswa lainnya. Setelah  ia menuliskan jawabannya, ada siswa bernama Suzu menanggapi jawaban Kori. Ia pun menuliskan jawabannya di papan tulis. Ternyata jawaban Suzu untuk menyelesaikan persolan tersebut lebih sederhana dan tidak sesulit jawaban Kori.
Dari penyelesaian yang berbeda kedua siswa tersebut siswa lainnya dapat membandingkan dan menyimpulkan mana penyelesaian yang efisiensi dan mana yang tidak.
2.      Norma ide penting dalam menyelesaikan persoalan yang tidak efisien
Efisiensi bukan satu-satunya nilai yang ada dalam menyelesaikan matematika. ide-ide baru untuk mengembangkan cara-cara baru dalam memecahkan masalah sama-sama penting dalam matematika. Ide-ide tersebut dapat ditemukan melalui berbagai cara misalnya dari cara yang tidak efisien, atau usaha yang gagal dalam menyelesaikan persoalan matematika di kelas ini. Seperti jawaban yang dituliskan oleh Kori walaupun jawaban tersebut tidak efisien bukan berarti jawaban tersebut salah sepenuhnya, malah terkadang dalam tidak efisien tersebut terselip ide-ide penting.
3.      Norma kebenaran harus dibuktikan dahulu
Matematika secara tradisional ditulis dengan cara deduktif , harus di ikuti dengan aksioma , definisi , atau teorema yang sudah terbukti ,kemudian di lanjutkan oleh nalar yang logis. Seperti norma ini ditekankan terutama dalam pengajaran pembuktian dalam geometri di Jepang.
4.      Norma akurasi lebih dihargai daripada kecepatan.
Dalam pembelajaran di jepang khususnya matematika, mendirikan kebenaran adalah salah satu tujuan yang paling penting. Dalam sejarah matematika, banyak matematikawan telah berusaha untuk mendirikan kebenaran "dugaan". Oleh karena itu, akurasi dari solusi sering lebih dihargai daripada efisiensi, meskipun dalam penerapan matematika ke dunia nyata, efisiensi kadang-kadang lebih dihargai.
Untuk mengembangkan norma-norma tersebut setidaknya ada tiga strategi yang digunakan guru yaitu
1.      Menggunakan karya siswa
Guru menjelaskan norma-norma menggunakan hasil pekerjaan siswa. Mereka diminta untuk menyelesaikan suatu permasalahan atau persoalan terlebih dahulu kemudian dari hasil tersebut guru membimbing mereka untuk menemukan hasil yang sesuai dengan norma.
2.      Membuat perbandingan  
Guru sekolah dasar di Jepang sering meminta siswa untuk mempresentasikan ide mereka sendiri atau solusi dari suatu masalah di papan tulis. Lalu mereka membandingkan tulisan mereka dan berdiskusi tentang apa yang mereka ketahui tenang tulisan tersebut.
3.      Memberikan perhatian terhadap siswa yang tidak sesuai dengan aturan atau norma
Dalam proses pembelajaran tidak selamanya semua siswa dapat mengikuti norma-norma, ada juga diantara mereka yang menyimpang dari norma. Untuk itulah peran guru memberikan perhatian yang lebih dengan mengarahkan mereka agar tidak keluar dari norma.

Sumber : 2005. In Chick, H.L. & Vincent, J.L. (Eds). Proceedings of the 29th  Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education, Vol. 4, pp. 153-160. Melbrourne : PME

Sabtu, 08 Maret 2014

NORMA-NORMA DAN KECAKAPAN MATEMATIKA


(Dikembangkan di Amerika Serikat)

Untuk menantang pemikiran siswa, Scott Frye dan Signe Kastberg mengadaptasi sebuah ratio perbandingan masalah dari Lamon (1994) yaitu dengan  mencontohkan atlit dan dokter yang akan dibagi pizza dimana  setiap 7 atlit mendapatkan 3 pizza sedangkan 3 dokter mendapatkan satu pizza. Dari permasalahan ini timbul suatu pertanyaan yaitu siapa yang akan mendapatkan pizza terbanyak, atlit atau dokter?
Beberapa pendekatan dilakukan oleh siswa untuk menjawab pertanyaan tersebut ada siswa yang menyelesaikannya dengan membuat  tabel dan ada juga perbandingan yang kemudian dikonversikan kedalam bentuk desimal .  
Tabel
Atlit
Pizza
7
3
14
6
21
9





Dokter
Pizza
3
1
6
2
9
3
12
4
18
5
21
6

Dalam penyelesaian menggunakan pendekatan  tabel ini. Ada siswa yang menemukan jumlah pizza yang sama untuk atlit dan dokter yaitu 3 pizza untuk 7 atlit dan  3 pizza untuk 9 dokter. Ada juga siswa yang menemukan jumlah orang yang sama (baca : atlit dan dokter) untuk mendapatkan pizza yakni 21 atlit untuk 9 pizza dan 21 dokter untuk 6 pizza. Sedangkan pada pendekatan perbandingan yang dikonversikan. Siswa mencoba untuk menkonversi rasio tiga pizza untuk tujuh atlet  yaitu 3p/7a dan satu pizza untuk  tiga dokter yaitu 1p/3d dan kemudian untuk pizza diubah kedalam bentuk desimal untuk masing-masing setiap satu orang atlit dan dokter. Sehingga diperoleh 0,43 p/1a dan 0.33 p/1d. (keterangan : p = pizza, a= atlit, d= dokter). Kemudian setelah mereka menemukan caranya masing-masing dalam menjawab pertanyaan tersebut maka mereka mempresentasikannya
 Presentasi Jessica di kelas Frye menggunakan pendekatan perbandingan yang kemudian dikonversikan mengilustrasikankan bagaimana norma ketekunan dalam konteks matematika. Karena dia menekankan bahwa apa yang ia didapatkan, itu merupakan hal yang penting dari pencariannya. Ketika ia mengubah jawaban bentuk pecahan  ke dalam bentuk desimal ia bingung menjelaskan hasil yang ia dapatkan. Sehingga ia harus meninjau setiap unit dalam perhitungan untuk membuat hasil sebagai perbandingan.
 Pada persentasi dengan menggunakan pendekatan tabel, Ashley menjelaskan menggunakan jumlah pizza yang sama untuk atlit dan dokter atlit yang memperoleh pizza yang lebih banyak. Sedangkan Stevie menjelaskan menggunakan jumlah orang yang sama (baca : atlit dan dokter) untuk mendapatkan pizza. Pada poin ini, Stevie menantang Ashley, bahwa “kamu akan menemukan sebuah angka yang sama juga dari orang (baca : atlit dan dokter) dalam tabel kamu jika kamu terus menjumlahkan ”. Ashley merespon tantangan stevie dengan terus menjumlahkannya, ternyata benar yang dikatakan Stevie bahwa jika terus  dijumlahkan akan mendapatkan jumlah orang yang sama yaitu 21 atlit untuk 9 pizza dan 21 dokter untuk 6 pizza.  Dalam masalah pizza  dan tantangannya stevi memperoleh poin bahwa tujuan dari pembelajaran tidak hanya belajar selama presentasi saja dan teman-teman sekelas. Tetapi penting juga untuk memperkenalkan pembelajaran dengan cara penyelesaian yang berbeda-beda.

Stevie mendeskripsikan pembelajaran yang dia miliki dan mendorong teman-teman sekelas untuk memberikan tantangan dan pertanyaan. Dari beberapa pendekatan yang dilakukan siswa tersebut pada kelas Frye tingkah laku tetap melakukan (tekun), menantang dan bertanya diharapkan dalam jalannya diskusi. Dalam kelas matematika, bagaimanapun, norma-norma ini menjadi sebuah dimensi baru sebagai “norma matematika sosial” (Yackel dan Cobb, 1966), atau mengharapkan cara dalam melibatkan diskusi matematika. Fakta ini pada gilirannya berkontribusi pada “kecakapan matematika” siswa (Kilpatrick, Swafford, dan Findell 2001).  Norma-norma sosial di kelas berupa "penjelasan, pembenaran, dan argumen" (Yackel dan Cobb 1996, halaman 460) sedangkan norma-norma matematika-sosial melibatkan pemeriksaan matematika dalam berbagai cara mencari solusi. Ketekunan adalah salah satu contoh dari norma sosial.

Sumber : Teaching Children Mathematics. August 2013. Vol 20, No. 1


Sabtu, 01 Maret 2014

Di Bawah Ujung Gunung Es: Menggunakan Representasi untuk Mendukung Pemahaman Siswa

Membangun Gunung Es
Tujuan dari aktivitas ini adalah untuk mendorong guru-guru untuk mencerminkan dalam menemukan gambaran dalam curricula dan mempengaruhi pilihan dari potensi pengajaran dengan campur tangan. Aktivitas dapat menggunakan hampir banyak topik matematika dalam melibatkan gambaran diri, model atau strategi.
Pertama, guru memulai dengan menggunakan diagram gunung es kosong yang mengandung garis air. Kemudian representasi formal yang sedang dipelajari tertulis di puncak gunung es dan  di atas garis air (Misal :  3/4 untuk mewakili penggunaan notasi pecahan ;  untuk mewakili pemecahan proporsi; atau y = mx + b untuk mewakili pemahaman tentang fungsi linear). Kemudian guru meminta siswa untuk mengingat representasi yang  telah digunakan dan mengembangkan kumpulan representasi informal dan preformal terkait yang dapat memberikan kontribusi untuk pehamaman mengenai representasi formal. Hal ini harus diikuti dengan berburu materi dengan cara mengadopsi buku dan bahan pengajaran untuk mengidentifikasi representasi informal dan representasi preformal yang lain.
Inti dari  kegiatan gunung es melibatkan guru untuk bekerja sama dalam rangka mengidentifikasi representasi terkait dan strategi serta membahas bagaimana representasi ini mendukung pemahaman siswa. Selain itu, guru membahas bagaimana membangun pemahaman yang kurang formal dan memutuskan apakah representasi terbaik dikategorikan sebagai informal, preformal, atau formal. Mengingat ruang lingkup konten yang melibatkan beberapa topik, guru  juga perlu untuk mempertimbangkan apakah representasi yang cukup unik akan mendapat tempat sendiri dalam gunung es. Tergantung pada representasi matematika di puncak gunung es, secara kesuluruhan kegiatan ini berlangsung sekitar 45 – 120 menit.
Bangunan pada model es menciptakan konteks untuk perdebatan mengenai representasi, menghubungkan dengan pengetahuan siswa sebelumnya, dan bagaimana guru mendukung pemahaman matematika siswa. Hal ini juga penting untuk mengenali representasi tentang kegunaan representasi tertentu atau strategi dan kelemahan potensi mereka, yang mungkin muncul selama diskusi kelompok. Waktu yang digunakan untuk membicarakan hal nyata (yang dianggap nyata) ini sangatlah terbatas.
Tujuan membangun gunung es matematika adalah untuk meringkas pengetahuan kolektif guru dari representasi dan bagaimana antar representasi saling terkait. representasi formal sering dianggap satu-satunya tujuan yang penting. Sayangnya , mereka menerima perhatian berlebihan dalam penilaian kelas meskipun kurang representasi formal berharga dalam menilai pengetahuan sebelumnya siswa dan mengungkapkan titik awal yang potensial untuk instruksi dan intervensi .

Sumber : MATHEMATICS TEACHING IN THE MIDDLE SCHOOL. Vol 14, No. 2, September 2008